MENU
SISTEM POIN MAHASISWA
Kategori
1
Login
Home
Kategori
1
"KULTUSAN" Oleh Ika Miftahul Jannah
Dipublikasikan tanggal 21-12-2021 pukul 14:40
Senin, 30 September 2019. Angin berlarian cukup kencang menghujami Kota Semarang malam ini. Bintang-bintang pun rasanya seperti enggan untuk menunjukkan dirinya. "Sepertinya akan hujan,". Intuisiku berkata demikian. Aku termasuk manusia yang mempunyai intuisi yang tajam. Ah mungkin tidak. Maksudku ialah aku mempunyai keahlian untuk membaca pola kehidupan di sekitarku. Dan sebagian besar memang terjadi seperti apa yang aku pikirkan. Namaku Bima Baskara Utama. Cukup sering disapa sebagai Baskara atau Bas. Aku berprofesi sebagai seorang penulis lepas di daerah Bandung Raya. Semenjak mengenyam bangku sekolah memang hobiku adalah menulis. Menulis berbagai hal, seperti artikel, majalah, cerpen, puisi, dan masih banyak hal lainnya yang masih erat kaitannya dengan sastra. Pagi tadi, kira-kira pukul 03.43 WIB Kereta Harina berhasil membawaku dengan selamat dari Paris Van Java ke Kota Lumpia ini. Perjalanan yang ditempuh kira-kira memakan waktu 7,5 jam lamanya. Yaa, dengan menghabiskan 1/4 hariku dalam kereta cukup membuatku lelah dan bosan. Ah, tapi tak apa. Demi pujaan hati, apa saja akan aku lakukan. Kini aku tengah menunggunya di sebuah Cafe di bilangan Candisari, Semarang. Ia adalah seorang wanita yang teramat kusayangi dan kukasihi dan Desember besok jalinan cintaku dengannya akan menginjak usia satu windu. Waktu yang terbilang sudah cukup lama untuk sebuah ikatan berpacaran. Lagi pula umur kami juga telah sama-sama matang untuk membangun sebuah maghligai rumah tangga. Namun, dalam kurun waktu 10 bulan terakhir ini kami memang harus terpisahkan oleh jarak. Seperti salah satu lirik lagu dari Fiersa Besari, "Aku kesal dengan jarak..." Yaa seperti itulah perasaanku selama kami LDR (Long Distance Relationship). Semenjak ia memilih untuk resign dari salah satu perusahaan tekstil di Bandung, dan ia memutuskan pulang ke kampung halamannya di Semarang. Ibunya yang kembali sakit dan adiknya yang tengah menempuh kuliah di luar kota menjadi alasannya untuk resign. Ya, semoga hanya itu alasannya beranjak dari Bandung. Gadis itu ialah Arunika Nan Digdaya. Nama yang sangat cantik dan sesuai dengan parasnya. Dahulu ia pernah memberitahuku tentang makna dari namanya. "Matahari terbit yang tak terkalahkan", itulah arti namanya. Dari makna namanya yang sungguh bertenaga tersebut, ia mempunyai nama panggilan yang cukup lucu dan sedikit menggelitik. Unik ialah nama sapaannya. Sebenarnya bila ditelisik lebih mendalam terdapat kesamaan arti dari namanya dengan arti dari namaku. Bima Baskara Utama memiliki arti “Matahari yang berani dan paling utama”. Dan dapat diambil kesimpulan bahwa aku dan dia sama-sama bergelar sebagai Manusia Matahari. Semoga akan jadi nyala dan terang yang bermanfaat, bukan hanya untuk kami pribadi tapi semoga juga untuk orang-orang di sekeliling kami. Detik demi detik kian berlalu meninggalkanku. Jarum jam yang ada ditanganku juga telah menunjukkan pukul 20.27 WIB. Hatiku rasanya sudah babak belur dihantam serbuan rindu. Rindu benar aku dengannya. “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, judul novel karya Eka Kurniawan yang terbit pada tahun 2014 itu yang menjadi pemecut bahwa rinduku pada Unik harus terbayarkan dengan tuntas malam ini juga. Dan tak berselang lama sebuah suara memecah lamunanku, "Bas..." Refleks langsung aku menoleh ke sumber suara itu, ada disisi sebelah kanan. Ya, dia. Unik. Aku menyajikan senyum manis ketika melihat wajahnya sembari mengayunkan tangan kananku untuk memberi tanda agar ia datang menghampiri. Tuk, tuk, tuk, tuk... Bunyi high heels yang ia kenakan semakin nyaring ketika ia semakin mendekat ke arahku. Aku berdiri menunggunya dan menyiapkan sebuah pelukan hangat untuknya. Aku mengenakan style pakaian yang ia suka dengan memakai jaket jeans maroon yang dipadupadankan dengan kaos polos berwarna coklat muda serta celana jeans hitam. Dan seperti biasa, sepatu converse selalu menjadi andalanku. Tak lupa aku juga memakai parfum dengan aroma vanilla kesukaannya. Dan kini ia tepat berada didepanku. Hal pertama yang kini kami lakukan ketika baru pertama kali bersua setelah LDR ratusan purnama ialah saling memeluk dengan erat. Pelukan hangat yang sudah sangat kurindukan darinya. Dia pun merupakan tipikel manusia yang senang sekali dipeluk. Masih terpatri dalam memoriku penjelasannya kala itu, "Kalau dipeluk tuh rasanya stress dikepala aku berhamburan jatuh ke tanah Bas, setelah itu hilang tersapu angin,". Gadisku yang lucu. Kucium aroma tubuhnya juga masih sama, wangi vanilla. Sampai di saat itu aku masih berpikir bahwa salah satu hal yang menunjukkan ia orang yang setia ialah selama 8 tahun kami menjalin asmara parfum yang ia gunakan pun masih sama. Tetapi, yang membuatku agak tercengang kini adalah perubahan gaya rambutnya. Dahulu ia tak pernah menyukai memiliki rambut panjang, entah mengapa kini rambutnya malah panjang bergelombang terurai. Meskipun demikian aku tak terlalu mempermasalahkannya, yang jelas ia tetap menjadi manusia favoritku. "Hei, Bas. Maaf ya lama menunggu. Tadi aku harus nganterin Ibu ke rumah Budhe' Ita dulu di Banyumanik." Jelas Unik kepadaku. "Iya, tak kenapa juga. Sepuluh bulan tak bertemu denganmu saja bisa aku lalui. Masa menunggu kehadiranmu yang ngaret 30 menit ini aku tak sanggup ? Huft, kau masih meragukan keloyalanku ya?" Jawabku seraya menggodanya. "Tidak. Aku tak pernah sedikitpun meragukan keloyalanmu. Tolong diingat itu ya, Tuan Matahariku.." Jawab Unik yang dipungkas dengan menyentuh ujung hidungku dengan jarinya yang lembut. Kemudian, disusul aku juga menanyakan kabarnya, "Kabar Kau bagaimana ? Baik, kan?" Tanyaku kepadanya. Mungkin agak terdengar aneh bila sepasang kekasih di era modern seperti ini, yang telah lama tidak bertemu masih sempat saja menanyakan kabar. Bisa saja itu disebut basa-basi yang sangat basi. Tapi untuk hal ini, keadaannya tidak sama dengan keadaanku. Semenjak kepulangan Unik ke Semarang 10 bulan yang lalu, komunikasi diantara kami agak sedikit tersendat. Kupikir karena tugasnya merawat Ibunya di rumah, selain itu juga pikirku karena pekerjaan barunya di Semarang yang membuatnya harus extra kerja sehingga berdampak pada komunikasi diantara kami. "Kabarku baik, Bas. Maaf ya, semenjak kepulanganku ke Semarang komunikasi diantara kita jadi merenggang. Kukira kau pasti tahu alasanku, bukan?" Tanya balik Unik kepadaku. "Aku senang akhirnya diperbolehkan untuk mengunjungimu ke sini setelah beberapa penolakan sebelumnya. Pintaku sekarang, tetap jaga komunikasi diantara kita ya. Kau tahu kan aku ini sangat mencemaskanmu. Dan banyak hal-hal yang ingin kuceritakan padamu juga." Aku menggenggam tangannya dan hening. "Ah, tapi tak apa Nik, balaslah pesan dariku jika kau sempat. Yang terpenting ialah selalu jaga hatimu untukku. Selalu ingat itu ya Puan Matahariku.." Sambungku seraya mengecup tangannya yang sedari tadi kugenggam. Sebelumnya jelas sudah kukatakan, aku orang terlahir dengan intuisi yang sangat kuat. Ketika aku menanyakan kabar Unik tadi, rasa-rasanya jawaban "Baiknya" masih sangat aku ragukan. Entah, tapi matanya seolah-olah berbicara bahwa sebenarnya ia sedang tak baik-baik saja. Aku ingin menanyakan hal itu lagi, tetapi mungkin nanti saja. Aku takut apabila Unik merasa dirinya terintimidasi oleh pertanyaanku. Toh, ini juga pertemuan pertama kami setelah lama dipisahkan jarak. Topik selanjutnya yang aku bincangkan dengan Unik ialah mengenai masalah kesehatan ibunya dan bagaimana keadaannya sekarang. Unik menjelaskan bila keadaan ibunya sudah jauh membaik. Ibu dari Unik terkena diabetes mellitus yang cukup kronis sehingga perlu penanganan dan pengawasan yang serius. Dalam obrolan kami, ia juga menyinggung bagaimana progres karir menulisku. "Sedang mengerjakan apalagi sekarang? Oh, iya kemarin kerjasama dengan penerbit Telaga Karya bagaimana kelanjutannya ?" Tanya Unik penasaran. "Kerjasama dengan Telaga Karya sudah berjalan sekarang. Dan akhir-akhir ini malah aku sering nulis puisi lagi, Nik. Semua ini gara-gara kau, kau harus bertanggungjawab. Kau ini pemantiknya". "Aku ?" Respon Unik kebingungan. "Kau yang membuat aku galau. Sepuluh bulan tak bertemu, ketika diajak bertemu ada saja alasannya. Kau ini memangnya tidak rindu dengan pujanggamu ini ? Ha ?" Jelasku kepada Unik yang dipungkas oleh jari telunjuk Unik yang menempel di bibirku agar aku tak berceloteh lagi. "Bas, dengarkan aku. Bukannya aku tak ingin bertemu. Tetapi ada sesuatu yang tak bisa kutinggalkan, Bas." Jawab Unik dengan intonasi lirih. Sesuatu yang tak bisa ditinggalkan katanya ? Sesak kepalaku dengan beribu tancapan tanda tanya. Kembali aku mencoba mencari jawaban atas alasan Unik padaku dan kembali lagi pula aku jatuh untuk memakluminya karena tak ingin berdebat lama dengannya. Kuperhatikan memang sedari tadi Unik tengah sibuk berselancar dengan ponsel pintarnya dan tak ingin jauh-jauh dari gadget-nya itu. Mungkin perkara pekerjaan, pikirku. Dan sekarang ia malah menangkap basah diriku yang tengah melamun di hadapannya "Bas! Kenapa melamun seperti itu ?" Suara Unik memecah lamunanku kembali. "Ah, tidak. Sedang ingin melamun saja sebentar." Balasku tak mengelak. "Bima Baskara Utama. Lelaki yang dikirimkan Tuhan untukku yang lahir di Jakarta, tanggal 22 Februari 1994. Wah. Tak banyak berubah rupanya sejak pertama mengenalmu. Selalu saja aku menemukan engkau sedang bermain dan hidup di duniamu sendiri. Bas, aku disini. Kau bisa cerita apa saja denganku. Jika yang kau pikirkan itu beban maka bagilah denganku, aku siap sedia untukmu. "Matahariku" tak boleh redup walaupun untuk sementara." Respon hangat dari Unik kembali menyadarkanku. Ya, memang benar kata Unik, aku sering hidup dalam duniaku sendiri. Yang tengah aku rasakan kini ialah perasaan gugup. Sangat tidak tenang. Kupikir malam ini merupakan malam yang tepat untuk meminang Unik menjadi belahan jiwaku. Dalam kantung kiriku celanaku telah kupersiapkan sebuah cincin untuknya. Meskipun angkanya tidak terlalu mahal, semoga cukup untuk mengikat Unik dalam dekapanku sekarang, sebelum menuju pelaminan. Agar kecemasanku tersebut tak berlarut-larut, aku coba kembali menggoda Unik. "Nik, kau tahu tidak bila bunga mawar ini sedang bersedih?" Tanyaku kepada Unik dengan menyodorkan sebuah vas bunga mawar yang tergeletak di meja. "Bersedih ? Darimana kau tahu bunga ini sedang bersedih?" Tanya Unik penasaran. "Ah, sebelum ada kau disini aku sudah lama berbincang dengannya. Aku sudah bercerita banyak sekali hal tentang dirimu kepadanya. Kutunjukkan pula fotomu kepadanya. Katanya ia insecure karena kau lebih elok dari dirinya." Jawabku terkekeh mencairkan suasana kembali. "Bas !!" Respon Unik seraya mencubit kulit tanganku. "Bas, aku pamit ke toilet ya. Sebentar." Tidak lama selang beberapa menit Unik beranjak ke toilet, ponselnya berdering suara telepon. Kulihat seorang pria menelepon Unik. "Mas Surya" nama kontak yang tertera. Meskipun aku dan Unik sepasang kekasih, aku tak serta-merta dapat mencampuri urusan pribadinya. Hal-hal privasi seperti mengecek ponsel pasangan dan panggilan telepon contohnya. Kudiamkan saja ponsel itu berdering hingga Unik yang nantinya mengangkat telepon tersebut. Dan kurang lebih 15 menit lamanya Unik di toilet hingga telepon tersebut telah dihubungi beberapa kali. Karena agak terganggu dengan dering telepon tersebut dan kupikir bila menelepon seseorang secara berturut-turut itu tandanya sesuatu yang penting, akhirnya aku angkat telepon tersebut. "Halo ?" Suaraku dengan mantab. Di seberang telepon sana pun menimpali, "Halo ? Nik ? Lho lelaki. Maaf Mas, ini Mas-nya siapa ya ?" Tanya lelaki tersebut. "Saya Baskara, Mas. Saya Pa..." Belum selesai aku menjelaskan siapa diriku kepadanya, lelaki yang ada di seberang telepon ini pun melanjutkan pertanyaannya. "Istri saya, Unik, dimana ya Mas ? Ini Mas teman kerjanya Unik ya?" Sambung pertanyaan lelaki tersebut. Tersentak aku mendengar kata "Istri" yang lelaki tersebut lontarkan. Istri ? Perasaan marah, kecewa, sedih semuanya langsung timbul dan campur aduk dalam waktu yang sama. Hingga tak terasa ponsel Unik yang ku genggam tadi kini terlepas dari genggaman. Seperti dihujam ribuan tombak. Seperti terkena petir di saat Matahari sedang terik-teriknya. Amarah dan kesedihan tak bisa terelakkan. Air mata pun sudah berada di pucuknya. Sesaat kemudian, Unik dengan wajah penuh keheranan memandangiku. "Bas, kau kenapa ? Hei, Bas ?!" Wajah Unik dari keheranan berubah menjadi ketakutan dan buru-buru ia memelukku agar kembali tenang. Aku yang sudah tidak kuat menahan berbagai gejolak pertanyaan pun akhirnya kehilangan kata sabar. "Siapa Mas Surya ?!! Siapa orang itu ?!! Dan mengapa ia menyebutmu sebagai istrinya ?!! Haaa !! Jawab pertanyaanku Nikk !!" Terengah-engah aku bertanya hal tersebut kepada Unik. Dengan nada yang tinggi dan kondisi mata juga cukup memerah menahan emosi, sepertinya membuat Unik takut melihatku. Beberapa pandangan aneh dari pelanggan lain pun tak henti-hentinya melihat kami berdua. "Kau... Rupanya.. Dengarkan penjelasanku dulu Bas. Aku akan ceritakan semuanya mulai dari awal." Jawab Unik dengan suara yang bergetar. "Ceritakan padaku mulai dari awal !" Perintahku pada Unik yang diakhiri dengan suara gebrakan meja "Brakk". Emosi yang membumbung tinggi masih melingkupi pikiranku. "Aku sudah menikah, Bas." Jawab Unik dengan suara lantang namun berderai air mata. "Dan lelaki yang bernama Surya yang panggilannya tadi kau angkat ialah suamiku. Suami yang menikahiku 7 bulan yang lalu." Sambung penjelasan Unik dengan diiringi tangisan yang kian membandang. "Bajingan, kau anggap aku ini apa, Nik !? Kau anggap hubungan asmara yang telah kita bina selama satu windu ini apa ? Mainan ?!" Tanyaku lagi kepada Unik dengan suara yang juga ikut bergetar. "Aku menyayangimu, Bas. Dengarkan. Pernikahan ini terjadi karena kehendak Ibukku. Tujuh bulan yang lalu Ibukku dalam kondisi sekarat, ia memintaku untuk segera menikah dihadapannya." Jelas Unik kepadaku. "Dan kenapa bukan aku yang kau nikahi ?!!" Tanyaku dengan nada tinggi tepat di depan wajah Unik hingga akhirnya ia jatuh ke lantai. "Karena Ibukku tak pernah menyetujui hubungan kau dan aku !! Bukannya kau juga sudah tahu dengan jelas bila sedari awal hubungan kita, Ibukku tak pernah memberi restu." Pecah kembali tangis Unik di depanku. "Rupanya ini yang menjadikanmu selalu menolak permintaanku untuk mengunjungimu kemari. Karena kau diam-diam telah berkeluarga. Dan, pertanyaanku selanjutnya adalah mengapa kau tak mengabariku tentang hal ini ?! Tentang kau yang akan dinikahi lelaki lain ?!" Tanyaku masih penuh emosi. "Aku tak bisa mengelak lagi, Bas. Ibukku sedang sekarat. Hanya aku tulang punggung keluarga, adikku juga masih kuliah dan butuh dana yang tak secuil. Ayahku pun sudah meninggalkan aku sedari kecil. Kau pikir aku tidak pusing dengan ini semua ?! Kau pikir aku hanya berpangku tangan saja disini ?!" Jawaban Unik yang kembali meluap-luap juga menyulut emosiku. "Aku juga punya pekerjaan, Nik. Aku bisa menghidupi Kau, Ibu, dan juga adikmu. Kau tak usah khawatir." Jawabku berusaha menyakinkan Unik meskipun nasi kini telah menjadi bubur. "Aku pun demikian, sudah meyakinkan Ibu dengan berbagai cara agar ia yakin kepadamu, Bas. Tapi Ibu selalu mengatakan bahwa masa depanku tak akan pernah terjamin dengan seorang sastrawan yang masih berkembang sepertimu. Sudah kuyakinkan berulangkali, Bas. Aku berani bersumpah di hadapanmu." Jelas Unik dengan tangisannya yang tersedu-sedu. "Sampai sekarang, jujur aku belum sepenuhnya menerima alasan ibumu. Dan detik ini juga akan kuakhiri semuanya. Tak pantas jua apabila seseorang yang telah bersuami masih memiliki hubungan dengan kekasihnya. Aku pamit, Nik. Semoga kau bahagia dengan 'Mataharimu' yang baru." Jawabku sembari bergegas meninggalkan Unik yang tergeletak di lantai Cafe. "Bassss !!!!!" Teriak Unik dari kejauhan yang masih sayup-sayup kudengar. Untuk Arunika, Puan Matahari yang hingga saat ini masih kucintai. Rupanya benar seperti yang diungkapkan Chairil Anwar; "Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar." Dan ia kini telah benar-benar memudar. Sekarang pun aku telah memiliki jawabannya, bahwa dua Matahari tidak bisa hidup saling berdampingan. Meskipun aku ini seorang Matahari yang pemberani, sampai kapanpun aku tak bisa menaklukkanmu, seorang Matahari yang tak terkalahkan. Arunika Nan Digdaya. Semoga cepat berlalu Semoga cepat melupa Yang baik biarlah tetap tinggal Bersemayam dalam hening Bergerilya menuju pembebasan duka Kau yang tenang Janjiku belum lawas, kau akan baik-baik saja Kusimpan rapi dalam kantong kiriku Kau yang siap Besok lusa kan kumakamkan dengan indah dan tak bersyarat Jangan sampai terjaga hingga fajar menyingsing Lelaplah dan senyap.
Artikel Terbaru
"Cerpen Tentang Kehidupan" Oleh Mohamad Irfan Musyafa
"Peralihan Pembelajaran Daring Menuju Luring" Oleh Humman Al-man Imani
"Awan Kelabu" Oleh Dwi Agustina
Kategori Artikel
1
(19)
Yakin ingin Logout?
×
Tekan 'Logout' untuk mengakhiri sesi anda.